Senin, 05 November 2012

Sejarah Berdirinya Gereja GPdI Klaten



GPdI – KLATEN

GEREJA  PANTEKOSTA dI INDONESIA,  Jl. TERATAI NO. 6 KLATEN,  JAWA TENGAH.                        Beslit Pemerintah No. 33 Tgl. 4 Juni 1973 No. 368; Dep. Ag. RI. No. E/VII/156/926/73, 3 okt  1973.                                              

Penggalan Sejarah, untuk diingat dan dikenang.
Berdirinya GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA-KLATEN.

“Sebab Segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia, bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”
[Roma 11:36]

Sudiharjo, lahir di Kediri, 5 Agustus 1905. Lulus pendidikan Normal School di Mojowarno-Jawa Timur pada tahun 1923, kemudian menjadi guru ZENDING di Surabaya. Karena panggilan Tuhan begitu kuat, pada tanggal  06  februari  1929, Beliau mengambil  keputusan untuk meninggalkan pekerjaannya itu, kemudian melayani Tuhan sepenuh waktu. Untuk melengkapi diri sebagai pelayan Tuhan, pada tahun itu juga beliau masuk ke Sekolah Alkitab di Jalan Embong malang, Surabaya.
 Tamat pendidikan Alkitab tahun 1930, Beliau dikirim oleh  Pengurus Vereeniging/Perkumpulan Gereja-gereja Pantekosta di Hindia Belanda” atau “ DE PINKSTERGEMEENTE IN NEDERLANDSCH INDIE”, untuk menjadi pengerja Tuhan di daerah Malang- Jawa Timur yang digembalakan oleh Pdt. Ong Hok Swan,  kemudian di Gereja itu beliau dilantik menjadi Pendeta Pembantu [Pdp]. Satu tahun kemudian, pada tahun 1931, dengan gelar yang sama [Pdp], beliau di pindah ke Mojokerto - Jawa Timur untuk membantu pelayanan pekerjaan Tuhan sebagai pengerja gereja, dibawah asuhan Pdt. R.O. Mangindaan.
Tahun 1936, dengan gelar yang sama [Pdp], oleh pengurus “Perkumpulan [vereeniging] Gereja-gereja Pantekosta di Hindia Belanda”, beliau dipindah ke kota Klaten untuk membantu pelayanan pekerjaan Tuhan di Gereja  DE PINKSTERGEMEENTE IN NEDERLANDSCH INDIE-KLATEN  yang digembalakan Meneer M.A. ANDRIESHE [Andreisson]. Dengan berbekalkan  iman, beliau berangkat menggenapi panggilan Tuhan ke kota Klaten, dan meninggalkan keluarga di Surabaya untuk sementara waktu.  Beberapa bulan kemudian, barulah Pdp. Sudiharjo ini memboyong keluarganya, yakni  Ibu Pramoni [istri], beserta putra dan putrinya [Harri Raharjo (5) dan Rah Prasetyaningsih (3)]  dari Surabaya ke kota Klaten, dan tinggal dirumah kontrakan di Jl. Pulosari no. 6, Kampung PONDOK-KLATEN. Sedang alamat Gereja DE PINKSTERGEMEENTE IN NEDERLANDSCH INDIE-KLATEN, tempat beliau akan “bekerja” buat Tuhan itu terletak di Jalan pemuda Tengah-Klaten, yakni di depan LAPAS [Lembaga Permasyarakatan] Klaten.
Tanggal  4 Juni 1937, terjadi pergantian nama Gereja. Dari nama ”Perkumpulan   Gereja-gereja Pantekosta di Hindia Belanda/DE PINKSTERGEMEENTE IN NEDERLANDSCH INDIE”,  dikukuhkan mejadi lembaga keagamaan yang berbadan Hukum dengan nama Gereja Pantekosta di Hindia Belanda/DE PINKSTERKERK IN NEDERLANDSCH INDIE”, dengan Beslit Pemerintah no. 33, tanggal 4 Juni 1937 No. 368.
 Dan pada saat peralihan nama Gereja tersebut, Bapak Pdp. Sudiharjo yang membantu pekerjaan Tuhan di Gereja yang kini disebut De Pinksterkerk in Nederlandsch Indie-Klaten, dibawah asuhan Pdt. M.A. Andrieshe itu, diangkat menjadi Pendeta Muda [Pdm]. 
Tahun 1942, terjadi Perang Dunia II. Jepang masuk ke Indonesia dan semua orang Belanda dipaksa untuk menyerah dan menjadi tawanan Jepang. Dalam kondisi darurat itu, kepemimpinan Nasional Gereja “DE PINKSTERKERK IN NERDELANDSCH  INDIE” diserahkan kepada putra-putra Indonesia, baik dari Pengurus Pusat, Daerah, sampai pada kepemimpinan Gereja lokal  [gembala sidang], semuanya dipegang putra-putra Indonesia.  Setelah kepemimpinan gereja beralih ke tangan hamba-hamba Tuhan anak negeri ini,  nama Gereja ”DE PINKSTERKERK IN NEDERLANDSCH  INDIE” dirubah atau disesuaikan menjadiGEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA”  dengan singkatan “GPdI” , dan pimpinan Nasionalnya disebut BADAN PENGOEROES OEMOEM [BPO].
Pada masa transisi itu [1942], Pdm. Sudiharjo dilantik oleh BADAN PENGOEROES OEMOEM GPdI, menjadi Pendeta penuh [Pdt,] sekaligus ditetapkan menjadi GEMBALA SIDANG “Gereja Pantekosta di Indonesia”-Klaten, meneruskan pekerjaan Tuhan yang diemban Pdt. M.A. Andrieshe selama ini.
Suasana prihatin terjadi diawal pengembalaan beliau di GPdI Klaten, karena gereja sempat kosong tidak ada jemaat yang beribadah. Itu terjadi karena sebagian besar jemaat gereja De Pinkstergemeente In Nedrlandsch Indie [sebelum ganti nama GPdI] yang  adalah orang-orang Belanda, semuanya ditawan Jepang, Gereja menjadi kosong, bahkan jemaat lokalpun, yang terdiri dari orang-orang jawa dan Tiongwa yang masih tersisapun ikut buyar kalang kabut. Rupa-rupanya inilah maksud Tuhan memanggil Bapak Pdt. Sudiharjo dari segala kebanggaan duniawi yang dimilikinya, untuk menjadi hambaNya di kota Klaten, yakni untuk menjaga kelangsungan rencana besar Allah membangun gerejaNya di Kota Klaten ini. Beliau harus berjuang keras  untuk mengumpulkan kembali ‘domba-domba’ milik Tuhan yang tercerai-berai itu, dan membangun komunitas baru sebagai jemaat Pantekosta Klaten. dan tertantang untuk memenangkan jiwa-Jiwa bagi Kristus.
Saat pecah perang di Jogja, suasana mencekam dirasakan juga sampai di kota Klaten.  Akibat yang dirasakan oleh Gereja Pantekosta di Indonesia-Klaten adalah, entah karena apa, tempat ibadah yang selama ini menggunakan gedung yang ada di jalan Pemuda Tengah [DEPAN PENJARA] Klaten itu, diminta pindah ke GEDUNG PERSIT oleh Pemerintah , yakni di belakang markas Kodim-Klaten [letaknya memang tidak berjauhan]. Tidak lama kemudian, dari gedung Persit itu diminta pindah lagi dan diijinkan menggunakan sebuah rumah yang kini dipakai KANTOR KADIN [Kopersi, Dagang dan Industri ] Klaten, di jalan pemuda Tengah Klaten. Dalam hitungan bulan, Gereja digusur lagi, dan untuk sementara waktu Gereja boleh menggunakan salah satu ruangan yang ada di ASRAMA BATALYON  411 [Jl. merapi] Klaten untuk tempat ibadah. Semuanya itu terjadi karena suasana Negeri ini dalam keadaan kacau [ perang].  Pdt. Sudiharjo terus bergumul dalam doanya, mau dibawa kemana kawananan ‘domba’ yang dipercayakan Tuhan kepadanya itu. Ditambah lagi dengan suasana yang menegangkan, dengan adanya rencana penduduk Klaten untuk mem’bumi-hangus’kan Kota dengan cara membakar gedung-gedung sekolah dan perkantoran, sehingga seluruh warga diminta untuk segera menyingkir  dan meninggalkan Kota. Berarti, Bapak Pdt. Sudiharjo-pun harus memikirkan juga bagaimana mengamankan keluarganya. Dan beliaupun mengungsikan istri dan kedua anaknya ke desa Kaloran ,Gayamprit- Klaten, dan tinggal di rumah keluarga WONGSO PAIRO [orang tua Ibu Hadi Wiyono atau simbah dari Pak Hasan], sampai kondisi dan situasi Klaten Kota dinyatakan aman.
Ternyata Tuhan memiliki rencana yang begitu indah, ketika Dia mengijinkan hamba Tuhan ini berada dipengungsian. karena dari rumah keluarga Wongso Pairo inilah, Komunitas Pantekosta di kaloran-Banyon terbentuk, dan ditempat ini pula ibadah pertama  umat Pantekosta di Kaloran Banyon itu diselenggarakan,  yang kemudian hari banyak jiwa dimenangkan bagi Kristus. Dalam perkembangannya, umat Pantekosta di Kaloran Banyon ini disebut Jemaat Pantekosta di Indonesia Klaten, cabang Banyon.
Setelah situasi dan kondisi aman, keluarga Pdt. Sudiharjo tinggalkan pengungsian, kembali ke rumah kontrakannya di kampung pondok. Sementara itu, hamba Tuhan ini masih terus bergumul didalam doa dan puasa untuk tempat ibadahnya yang belum pasti, dan masalah itu menjadi beban dan tanggung jawab yang berat bagi beliau. Beliau memiliki kerinduan yang begitu besar untuk bisa menyediakan tempat ibadah sendiri bagi umat Tuhan, tanpa harus digusur dan berpindah-pindah lagi, sehingga dapat melihat kawanan ‘domba’ gembalaannya itu dapat berbakti dengan damai.
 Awal Februari 1943, Dalam doa Puasanya, Tuhan memberikan Hikmat kepada Bapak Pdt. Sudiharjo untuk membawa GerejaNya ke RUMAH KONTRAKANNYA di kampung Pondok Jl. Pulosari 6 Klaten. Di tempat inilah pada akhirnya Jemaat GPdI Klaten dapat ber ibadah secara rutin dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaannya. Namun ada sesuatu  yang membuat Bapak Gembala Sudiharjo sedih dan itu merupakan ujian juga bagi beliau. Pasca pem’bumi hangus’ an kota Klaten, banyak anggota jemaat yang masih mengungsi [di Kota besar], akhirnya mereka tidak kembali lagi ke Klaten karena takut [trauma], sehingga Jemaat  Pantekosta yang dapat dikumpulkan kembali Pasca pem’bumi-hangusan’ kota Klaten itu hanya beberapa orang. Yang masih diingat oleh nara sumber penulis, jemaat yang tersisa yang akhirnya jadi pioneer Gereja Pantekosta di Indonesia Klaten pada waktu itu adalah antara lain Keluarga Smith,  Ibu Kadiyem (beliau masih sugeng sampai kesaksian ini ditulis), Keluarga orang tua dari Bapak Hartono [Kauman], Yan Basuki [alm].
 Dengan seberapa jemaat yang ada, jemaat Pantekosta dapat berbakti dengan sedikit lebih nyaman dirumah kontrakan Gembala sidangnya. tetapi bayang-bayang tekanan dan penggusuran dari pihak-pihak yang tidak menghendaki kehadiran gereja masih mengancam. Lebih-lebih, status tanah dan bangunan yang ditempati keluarga Sudiharjo itu, selama ini masih dikuasai oleh orang lain dan berpindah-pindah tangan. Dari Meneer Ver Beek, dibeli keluarga Tio Hong Swan, kemudian koperasi batik Klaten [BAKA].  Dan baru di tahun 1965 nanti, setelah melalui proses yang panjang dan berat, dengan cara Tuhan tanah di jl. Pulosari 6  Pondok Klaten itu dapat dibeli oleh Keluarga Pdt. Sudiharjo.
Kemudian pada Tahun 1954, Dengan surat resmi dari Pengurus Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia-Jawa Timur, Pdm. R.M. Samekto Brotokusumo [ saat itu masih menjadi pengerja Tuhan di GPdI Pare-Kediri-Jawa Timur dibawah asuhan Bapak Pdt. Ramelan], dipindah ke kota Klaten, Jawa Tengah, untuk membantu pelayanan Pdt. Sudiharjo di GPdI Klaten. Setelah resmi menjadi pengerja Tuhan di Klaten, suatu saat Pdm. Samekto mengadakan Kampanye penginjilan [istilah untuk Kebaktian KKR pada waktu itu], lesehan di halaman rumah  Pdt. Sudiharjo, di kampung Pondok. Puji Tuhan!, Tuhan bekerja luar biasa. Kemuliaan Allah melimpah. Banyak jiwa bertobat dan dimenangkan. Ibu Ning Samekto bercerita, dalam peristiwa Kampanye Penginjilan itu, Kampung Pondok dimenangkan, Bapak Selamet Siwoyo [orang tua dari Ibu Pdt. Tri Rahayu] di menangkan, kemudian ada lagi Ibu Harto [ Ibu dari Bapak Ngadi Bendogantungan] berangkat KKR di Bopong, pulang jalan kaki, disembuhkan oleh Tuhan, Bapak Sutopo dan beberapa orang dari Canan percaya Tuhan Yesus. Sebagai follow up dari hasil Kampanye penginjilan itu, Pengerja muda ini mulai membuka pos-pos pelayanan yang beberapa diantaranya masih eksis sampai sekarang bahkan banyak melahirkan hamba-hamba Tuhan. Adapun pos-pos pelayanan Pantekosta yang telah dirintis sejak saat itu adalah, di Desa BANYON, Gayamprit; Kemudian didampingi Bapak sumarno, Pdm. Samekto merintis pelayanan di desa CANAN-Wedi [sekarang dilayani Pdt. Ibu Tentrem Sutopo];  di desa BALANG, Karanglo [dilayani Pdt. Ibu Tri Rahayu]; Lalu GONDANGWINANGUN-Jogonalan [jemaat GPdI di Gondang ini,  dilayani Pdt. Yilius Dwijo Purnomo, kini pindah denominasi]; JAMBU KULON Ceper; TAMBONG- Kalikuning;  JOMBORAN;  Bahkan perjalanan ‘obor’ Pantekosta itupun bergerak sampai ke PRAMBANAN yang dirintis dan digembalakan oleh Bapak Pdt. Sumarno.
Tahun 1955, Pdt. R.M. Samekto Brotokusumo, putera Pdt. R.M. Suprapto [Malang] ini, menikah dengan putri tunggal Pdt. Sudiharjo yaitu Rah Prasetyningsih [Yang kemudian hari dikaruniai tujuh anak yaitu, Fillipus Prasetyanto, Tri Fena, Tri Sarah, Fillemon Pramudito, Ruth Kusumaningayu, Fanuel Karyagung, Ezra Sapto Nugroho].
Tahun 1956, Pdt. RM Samekto dilantik menjadi GEMBALA SIDANG Gereja Pantekosta di Indonesia-Klaten, meneruskan tugas penggembalaan yang selama ini dipegang Bapak Pdt. Sudiharjo. Sedang Bapak Pdt. Sudiharjo sendiri memasuki masa Emiritus. Meski demikian, martabat beliau sebagai Hamba Tuhan tetap disandangnya, dan  tetap melayani Tuhan untuk mendampingi putera menantunya itu sampai akhir hayatnya [1988].
Sampai tahun 1964, tempat ibadah Jemaat Pantekosta-Klaten, masih menggunakan ruangan-ruangan yang ada di dalam Pastori. Semula menggunakan RUANG KELUARGA/RUANG TENGAH, yang membujur dari arah barat ke timur. Karena jemaat bertambah, ruangan tidak memadahi lagi, lalu RUANG TENGAH [yang membujur barat ke timur itu DISAMBUNG dengan KAMAR TIDUR BELAKANG sebelah selatan. membentuk leter L.  Kemudian ruangan yang berbentuk leter L tersebut tidak muat lagi untuk menampung  jemaat dan petobat baru yang terus bertambah, lalu tempat ibadah itupun di pindah ke RUANG BELAKANGNYA persis [disebelah timurnya], suatu ruangan yang masih nyambung satu atap dengan ruang keluarga. Hanya posisi ruangan belakang ini, memanjang dari  Selatan ke utara [memotong ruang keluarga], kemudian ditambah lagi/disambung dengan bangunan dapur yang ada di sebelah utaranya untuk Altar atau mimbarnya. Sementara itu, ruang keluarga yang dipakai tempat ibadah dulu, difungsikan kembali untuk ruang keluarga Gembala.
Pasca tragedi 1965, parjuangan untuk memiliki gedung Gereja dimulai. Berbagai cobaan, kemelut dan teror bahkan ancaman pembunuhan mewarnai perjuangan Gembala muda ini. Dan semuanya itu tidak mematahkan semangat beliau untuk berjuang mewujudkan impiannya, memiliki tanah strategis untuk sebuah bangunan Geraja yang terpisah dengan Pastori, serta melihat jiwa-jiwa yang digembalakannya itu beribadah dengan tenang.
Lima kali beliau memohon kepada Pemerintah untuk memanfaatkan lahan kosong milik Negara [bahkan tepat-tempat yang tidak lazimpun diminta], tetapi tidak satupun permohonan hamba Tuhan muda ini dikabulkan. Adapun tanah Negara yang pernah di’incar’ dan digumuli oleh Pdt. Samekto adalah:
1.      BANGUNAN BETENG di tengah Kota. Yang kemudian dibangun sebuah masjid yang megah, masjid ‘Raya’ Klaten.
2.      Sebidang tanah utara jembatan ‘Jalidin’ Klaten [sekitar apotek Sidowayah].
3.      Tanah kas Desa Gayamprit, Klaten [belakang stadion Trikoyo]. Yang kemudian dibangun gedung SD Negeri.
4.      Ketika Pdt. Samekto meminta sebidang tanah di Jl. Pramuka Klaten [yang kemudian dan sampai sekarang dipakai markas pramuka], Beliau malah ditawari sebidang tanah ditempat lain, yaitu tempat pembuangan sampah di desa Bareng, Klaten. lahan itu masih aktif dipakai sebagai tempat pembuangan sampah. Namun tawaran pemerintah itu ditolak dengan tegas oleh Bapak  Samekto. Kemudian, sampai sekarang diatas tanah tersebut berdiri bangunan kantor kelurahan bareng, Klaten.
5.       Bahkan sedikit tanah dan diatas sungai disebelah utara Lapas/Penjara Klatenpun di’tembung’ oleh pak Samekto. Maksud beliau kalau diijinkan, diatas sungai itu akan di DAG sebagai lantai Gereja disambung dengan sedikit tanah [bantaran sungai] yang ada disampingnya. Itupun tidak dikabulkan.

Dengan alasan-alasan tertentu, setiap permohonan yang diajukan Pdt. Samekto, selalu ditolak Pemerintah. Sempat Beliau berpikir “apakah benar Tuhan itu  ngersakke beliau untuk mengelola pekerjaan Tuhan di Klaten?”.    
Tetapi, ditengah-tengah pergumulan beliau, di tahun 1966, Tuhan memberikan tanda yang begitu menghibur dan menguatkan, Karena diluar dugaan dan perhitungan, datang seorang anak Tuhan dari Desa Banyon ke Pastori di Pondok, yaitu untuk menyampaikan niatnya, mempersembahkan sebidang tanah [120 m2], untuk dibangun tempat ibadah jemaat Pantekosta di Desa Banyon-Kaloran dan sekitarnya.  Kemudian pada tanggal 18 Juni 1966, Bapak Wangsa Sentana, dengan dua Puteranya [ Sdr. Suradi dan Sdr. Saidi] sebagai pemilik/pihak pertama yang mempersembahkan sebagian tanah pekarangannya seluas 120m itu, menanda-tangani surat perjanjian,  disaksikan Bapak Titus Karna dan Bapak Pardi, serta diketahui  Lurah Desa Praja Gayamprit,  Bapak Kramadimedja. Kemudian surat perjanjian  itu langsung diserahkan kepada Bapak Pdt. R.M. Samekto Brotokusumo selaku Hamba Tuhan yang memimpin Gereja Pantekosta di Indonesia Klaten.
      Ujian iman kembali diperhadapkan Tuhan kepada Jemaat, khususnya kepada hambaNya. Ketika memasuki tahun 1967, tanpa informasi dan konfirmasi dengan keluarga Pdt. Sudiharjo atau Pdt. Samekto, pihak koperasi Batik Klaten [ si pemegang hak atas tanah dimana keluarga Pdt. Sudiharjo itu tinggal], mendirikan dua buah gedung yang mengelilingi rumah tinggal keluarga hamba Tuhan ini, tepatnya yang satu disebelah Timur [belakang] rumah dan yang lainnya ada disebelah Utara [Samping kanan] rumah. Pihak gereja tidak ada yang tahu tujuan mereka membangun gedung disamping dan belakang rumah yang dipakai tempat ibadah itu. Tetapi Tuhan itu baik, apapun yang di rencanakannya tidak bisa meghalangi rencana besar Allah untuk membangun gerejaNya di kota Klaten ini. Tahun 1968, Bangunan yang mereka bangun itu selesai dengan sempurna, tetapi aneh, bangunan itu tidak segera mereka pakai tetapi justru terkesan  dibiarkan begitu saja. Ternyata, setelah proses pembangunan mereka itu rampung, mereka mengalami kesulitan keuangan. Pada hal, operasional koperasi itu sendiri terus membutuhkan beaya.
      Rupa-rupanya selama mereka sedang sibuk membangun bangunan yang menimbulkan tanda tanya besar bagi keluarga Hamba Tuhan itu, Tuhan sedang memproses jawaban doa yang selama ini gencar dilakukannya. Dan sekarang jawaban itu dinyatakan. Tuhan membuka jalan, Dimana Koperasi Batik Klaten, menawarkan sebagian tanahnya yang berlokasi di JL. Pulosari Kampung pondok itu Kepada Pdt. Sudiharjo, seluas 870 m, beserta tiga bangunan yang ada diatasnya, yaitu bangunan RUMAH INDUK yang ditempati keluarga Pdt. Sudiharjo/Pastori itu, kemudian BANGUNAN DAPUR, dan satu BANGUNAN BARU yang ada disamping Utara rumah induk. Melihat  campur tangan Tuhan yang luar biasa itu, Ibu Pramoni Sudiharjo dengan penuh syukur tergerak menjual beberapa petak sawah warisan, kemudian hasil penjualannya dipergunakan untuk membayar uang muka pembelian tanah tersebut.
Tantangan masih terus berlanjut. ketika jatuh tempo pelunasan hampir tiba, sementara dana yang terkumpul masih sedikit, mau tidak mau keluarga hamba Tuhan ini harus menyediakan dana untuk segera melunasi pembelian tanah tersebut. Karena batuan dana dari luar minim, dengan iman Pdt. Samekto-pun menjual tanahnya di Nganjuk [Jawa Timur]. Hasil penjualannya diserahkan kepada Tuhan untuk membantu beaya pelunasan, itupun belum mencukupi. Kemudian seijin Tuhan, Pdt. Samekto-pun terus bergumul dalam doa dan berjuang mencari dana keluar kota. Beliau mendatangi sahabat-sahabat Pendeta dan mengunjungi mantan murid-muridnya di Sekolah Alkitab dulu, serta mengetuk hati para pengusaha yang dikenalnya sejak beliau jadi pengerja Tuhan. Dari kota ke kota, setiap hari beliau meninggalkan keluarga untuk berjuang mengumpulkan dana.                                                                                                                                                 
      Suatu hari beliau sampai di Kota Semarang [setelah sepanjang hari beliau mengunjungi sahabat-sahabatnya]. Waktu menunjuk pukul 24.00, dengan iman, beliau datang dan mengetuk sebuah  pastori dan kepada  hamba Tuhan disitu beliau mohon diijinkan untuk numpang istirahat sekaligus minta bantuan. Dalam kesempatan yang lain, sampai juga beliau di Kota Temanggung jam 21.00. Temanggung adalah tempat terakhir dan hari terakhir beliau mencari dana menjelang besok pagi harus melunasi pembelian tanah. Dan ditempat terakhir ini pdt. Samekto mendapat berkat Rp. 10.000, kemudian malam itu juga beliau pulang ke Klaten dengan rasa syukur, dan sampai di Klaten jam 03.00  dini hari.
Puji Tuhan, Dana yang terkumpul sampai dihari terakhir itu cukup untuk membayar lunas pembelian tanah dan tiga bangunan yang ada di atasnya yaitu, bangunan induk, dan bangunan dapur [ yang letaknya terpisah disamping utara bagian belakang rumah induk],  yang sudah ditempati dan diimani sejak tahun 1936, sebagai rumah tinggal keluarga Hamba Tuhan, plus bangunan baru, yang baru selesai dibangun oleh Kopersai Batik Klaten itu.  Bahkan, dana yang terkumpul pada saat itu ada kelebihannya. Lalu, oleh Pdt. RM. Samekto dialokasikan terlebih dahulu untuk membangun gedung Gereja cabang di Banyon.
Setelah tanah, dan dua bangunan plus satu gedung baru yang ada diatasnya itu dapat dibeli, Pdt. RM. Samekto memindahkan tempat ibadahnya dari ruang belakang rumah induk/Pastori,  ke bangunan gedung yang baru, yang letaknya persis ada disamping utara Pastori [suatu bangunan besar berbentuk L, memanjang dari timur ke barat dan ke selatan, sementara mimbarnya ada di sudut ruangan]. Suatu keajaiban terjadi dan itu merupakan bukti bahwa semua yang terjadi selama ini adalah Tuhan yang mengaturnya. Dimana, kursi-kursi yang dipakai ibadah di ruang belakang rumah induk dulu, ketika dipindahkan dan di tata di gedung yang baru ini, ternyata Pas persis, sehingga jemaat bisa beribadah dengan tidak berjubel-jubel lagi.  Bertambah hari, jemaatpun semakin bertambah dan fenomena ‘domba melahirkan domba’ terjadi dengan baik sekali di GPdI Klaten ini.
Dengan melihat tanda-tanda, bertambahnya bilangan orang percaya yang digembalakan serta pembelaan Tuhan dalam setiap tantangan yang dihadapinya, membuat Pdt. R.M. Samekto itu yakin bahwa suatu saat nanti, justru di Kampung Pondok inilah Tuhan akan membangunkan Gedung Gereja yang diimpikannya selama ini dan bukan ditempat lain, yang dianggapnya ‘strategis’ itu.  
      Dengan keyakinan yang kuat bahwa Tuhan pasti akan menolong, baru pada tanggal 31 Desember 1969, dalam ibadah Tutup dan buka tahun yang diselenggarakan pukul 22.00,  pergerakan IMAN dimulai. Gembala, bersama Jemaat sehati-sepikir dan ‘bertekad’ untuk gotong-royong mbangun Grejo.  Setelah selesai ibadah Tutup tahun 1969 dan Buka tahun 1970,  seluruh jemaat dibawa keluar dari ruang ibadah itu, dan berkumpul di halaman disalah satu sudut/patok bakal bangunan yang ada disisi barat daya.
Di halaman itu, setelah diawali dengan doa dan pembacaan Firman Tuhan oleh Bapak Gembala ‘muda’ [Pdt. Samekto], tepat pukul 00.00 WIB, Bapak Gembala ‘Sepuh’ [Pdt. Sudiharjo] yang sejak awal acara di halaman itu mulai, sudah berdiri dan  memegang cangkul bertuliskan “IMAN”,  Kemudian dengan suara nyaringnya beliau mengangkat cangkul “IMAN” itu dan menyerukan kata-kata iman “ Dalam nama ALLAH BAPA, ALLAH ANAK dan ALLAH ROH SUCI, di dalam nama TUHAN YESUS KRISTUS”,  lalu diayunkanlah cangkul itu menghujam ketanah dengan kuat, menandai bahwa GERAKAN IMAN JEMAAT PANTEKOSTA KLATEN untuk membangun Gedung Gereja Pusat dimulai. Dan keesokan harinya, penggalian pondasinya mulai dikerjakan.
      Demi kelancaran proses dan pengawasan pembangunan, Pdt. RM. Samekto sempat membentuk kepanitiaan, dan itu dilakukan Beliau berulang kali. Ternyata seiring perjalanan waktu, dari kepanitiaan pertama sampai yang terakhir, semuanya tidak bekerja efektif. lalu tercapailah kesepakatan bersama, bahwa segala sesuatunya diserahkan kembali kepada Pdt. RM. Samekto selaku Gembala. Dan oleh Beliau, diaturlah kembali sepraktis mungkin panitia inti. Beliau menunjuk dan mempercayakan Bp. Marjono, untuk memimpin dan mengawasi pelaksanaan proyek pembangunan Gedung Gereja, termasuk mengontrol dan membelanjakan bahan-bahan bangunan yang sudah menipis. Kemudian untuk pelayanan rohani Bapak Gembala ’sepuh’, dibantu oleh Bp. Marjono, Bp. T. Sudarman, Bp. Sutopo, Bp. Suparto, Bp. Daniel Dukut. Sementara untuk Pdt. Samekto sendiri bertanggungjawab untuk terus berjuang menggalang Dana keluar.
      Begitu rindunya anak-anak Tuhan untuk memiliki Gedung Gereja, sehingga  hanya dengan himbauan untuk ‘getoktular’ yang disampaikan di mimbar, Terciptalah suatu fenomena yang begitu indah dalam proses pengumpulan bahan bangunan, khususnya batu bata, batu kali dan pembuatan semen merah.  Dimana seluruh anggota gereja [dari anak-anak Sekolah minggu, Remaja dan Pemuda, bahkan sampai yang sepuh-sepuh] ikut berpartisipasi di dalamnya. Setiap kali mereka datang beribadah atau datang ke Gereja, dengan senang hati [tanpa beban,  tanpa rasa malu], mereka membawa ‘oleh-oleh’ batu-bata atau batu kali. Dan biasanya,  jemaat  yang sepuh itu memang tidak bisa membawa batu-bata sendiri ke Gereja tetapi mereka mengutus orang lain untuk membawakan atau mengantarkan ‘persembahan’ itu ke gereja. Puji Tuhan!. Untuk batu-bata, tidak perduli batu-bata itu masih utuh atau sudah pecah atau tinggal setengahnya, kalau mereka menjumpai di kebon-kebon atau bahkan di jalan, akan dipungutnya dan dibawa ke Gereja. Mereka tahu, untuk batu-bata yang utuh akan dipergunakan membuat tembok dan sebagainya, sementara yang tidak dipakai untuk tembok [pecahan-pecahan  batu-bata] akan dihancurkan, ditumbuk sampai halus untuk dijadikan semen merah.
Bukan itu saja, tetapi dengan tenaga mereka, mereka membantu “Ngladeni Tukang”. Ada yang ngayaki pasir, ada yang khusus menyiapkan adukan semen, ada yang mengantar adukan semen ketukang bangunannya, ada yang menyiapkan batu-bata untuk tukang, ada yang menyiapkan batu kali dengan memecahnya kecil-kecil untuk pondasi bangunan, ada menghancurkan dan menumbuk halus batu-bata dijadikan semen merah, dsb,dsb. Bahkan ketika bagunan Gereja sudah membutuhkan urug, Pemuda-pemuda dari Banyon dan jemaat Canan kerja bhakti mencari urug. Oleh kemurahan Tuhan, mencari urug pada waktu itu begitu gampang, karena pada saat itu pemerintah kota Klaten sedang mengerjakan program, melebarkan jalan protokol. Jadi otomatis disepanjang jalan Pemuda Klaten itu banyak toko dan rumah yang dibongkar. Dan bongkaran-bongkaran itulah yang diambil untuk urug Gereja.  Pemuda-pemuda Gereja itu semangat kerja bhakti bahkan hingga larut malampun mereka jalani. Satu semboyan yang selalu dinyanyikannya dengan semangat dan cinta,  “ Kerja buat Tuhan selalu manise, .......Biar zonder[tanpa] gaji, selalu manise” .  Disisi yang lain, pelayanan rohani jemaatpun tetap berjalan dengan baik bahkan jiwa-jiwa barupun terus bertambah. Pelayanan rohani ini dilayani oleh Bapak Gembala ‘sepuh’ dengan tulus, sabar,  rendah hati serta penuh urapan, didampingi Bapak Marjono dan Bapak Timotius Sudarman serta aktifis-aktifis muda dari Banyon, pekerjaan Tuhan makin berkembang.  
Sementara itu, dengan kekuatan dan hikmat dari Tuhan, Pdt. RM. Samekto terus berjuang melayani Tuhan keluar kota. Dari kota ke Kota bahkan sampai ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi Utara, Beliau jalani tanpa menghiraukan kesehatannya yang terganggu oleh penyakit Asma akut, juga nasehat-nasehat sumbang yang melemahkan iman dan semangat beliau. Bahkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari keluarga, khususnya untuk kebutuhan pertumbuhan anak-anaknya yang masih usia sekolah, yang tentunya memerlukan dampingan kasih dan perhatian dari seorang Bapak untuk menggapai masa depannya beliau korbankan dan diserahkan sepenuhnya dalam pemeliharaan Tuhan. Pernah di tahun 1970-an, untuk makan sehari-hari keluarga hamba Tuhan ini makan bubur dengan taburan sedikit kecap atau garam atau gula agar sedikit punya rasa. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, di era tujuh-puluhan ini beliau merintis usaha dagang sapi, sampai-sampai beliau mendapat sindiran dari teman-teman sejawatnya dengan julukan “GEMBALA SAPI”.  Dan mungkin, karena beliau tidak dipanggil Tuhan untuk menjadi BLANTIK SAPI, akhirnya usaha dagang sapi itupun ya gagal total. Beliau yang tidak tahu liku-liku dagang terlalu percaya kepada orang, akhirnya ketipu habis-habisan oleh mitra bisnisnya itu. Melihat kondisi itu, ada hamba Tuhan senior yang mengingatkan beliau, ‘Yaach.., namanya juga Pendeta. Panggilan seseorang menjadi Gembala sidang yang murni itu tidak boleh nyambi ‘bakul’, karena dia harus hidup dengan iman, murni dari ayapan firman Tuhan dan berjalan dalam urapan Roh Kudus”.
Perasaan capek, Lungkrah, Marah, Patah semangat, pernah dialami Pdt. Samekto dalam menjalani tugas dan panggilanNya sebagai gembala sidang yang bertanggung Jawab. Sekali waktu, proses pembangunan Gedung Gereja itu mandeg, bahkan betul-betul Tuhan ijinkan Pembangunan Gereja Pantekosta Klaten itu Berhenti total, selama satu tahun lebih. Memang, beliau sadah terlalu capek dan akibatnya, tidak ada pemasukan Dana. Karena pembangunan itu lama terhenti, menimbulkan berbagai komentar yang bernada meremehkan. “ hmmm.., apa bisa Samekto mbangun lan ngrampungake bangunan Gereja sebesar itu [ 12x26 ]” memang ,  ukuran bangunan seperti itu merupakan suatu bangunan Gereja yang sangat besar untuk saat itu. Bahkan ada yang berkomentar, “Samekto itu ‘edan’, mbangun Grejo se-gede kuwi, sopo sing arep nganggo” [pada waktu itu jemaat belum banyak. Pokoknya, menurut ukuran manusia terlalu  besarlah membangun gereja sebesar itu]. Sindiran demi sendiran datang. Bahkan Ibu Ning samektopun pernah melontarkan kalimat, ‘kapan yo bisa ngrampungke bangunan gerejo?’. Hal itu membuat beliau tidak sabar dan mengadukan persoalan itu kepada Tuhan. Mulailah beliau masuk dalam pergumulan doa dan puasa dan tidak pergi kemana-mana kecuali menyendiri diruang tamu. Sepanjang malam dan berhari-hari beliau lakukan itu, tanpa target kapan doa puasanya akan berakhir. Yang jelas beliau terus bergumul, pasrah kepada Tuhan sampai Tuhan menyatakan “cukup” dengan memberi suatu tanda. Dan benar, baru memasuki hari ketiga dalam pergumulan beliau itu, datanglah kiriman Pos Wesel, dari seorang Pendeta, sahabat beliau [Pdt. Kho Swie Ing, Temanggung],  dengan nominal uang sebesar Rp. 20.000.  Datangnya berkat berupa uang melalui Pos wesel yang beliau terima itu,  cukuplah bagi Pdt. Samekto untuk menjadi tanda, bahwa sesungguhnya Tuhan itu masih terus berkerja  dan  selalu turut bekerja untuk mewujudkan rencana besarNya bagi kota Klaten ini. Dan benar, ketika berkat Tuhan yang diterimanya itu dipakai untuk mengawali kembali pembangunan gedung Gereja, kemudian sedikit demi sedikit berkat Tuhan itu mengalir. yang artinya, denyut nadi gerak pembangunan tempat ibadah itu sudah bekerja lagi. Semangat pulih kembali dan menambah keyakinan, bahwa Tuhan sendirilah yang akan menolong dan menyelesaikan pembangunan rumah Allah itu.
Kemudian, sejak tahun 1972, meski pembangunan dikerjakan oleh satu tukang bangunan dengan dibantu beberapa laden tukang, proses penyelesaian bangunan Gereja itu terus berjalan walaupun nampak lambat.
Disisi yang lain, dalam melangsungkan pembinaan terhadap umat, Pdt. R.M. Samekto yang dipanggil oleh teman-teman sejawatnya sebagai Pendeta ‘dalang’ [ karena kepiawaian beliau menggunakan bahasa Jawa halus], suatu waktu mengumpulkan Jemaat, khususnya kaum muda, untuk membuat satu kegiatan kesenian yakni menyelenggarakan sendratari. Kemudian dipilihlah personil-personil sendratari dan parogo gamelannya. Dan cerita  sendratarinya sendiri diambil dari  kisah ‘Ramayana’.  Yang berperan besar untuk memimpin, melatih dan menggelar kegiatan ini adalah pasangan kakak beradik yakni Ki Waskita dan Ki Miyanta. Kemudian, dalam suatu acara di Gereja sendiri, sendratari inipun ditampilkan.     
Dipertengahan tahun 1972, Pdt. R.M. Samekto mendapat tawaran dari Badan Pengurus Umum GPdI supaya mau bekerja-sama dengan yayasan COMPASSION jakarta, untuk menerima bantuan atas nama Yatim-piatu. Karena ada pertimbangan-pertimbangan tertentu, penawaran itu tidak langsung diterima oleh Bapak Pdt. Samekto, namun terus dibawa dalam doa. Satu tahun kemudian, barulah Bapak Pdt. R.M. Samekto mengambil keputusan untuk menerima tawaran itu.        Mengingat pembangunan gedung Gereja pada saat itu belum selesai dan membutuhkan dana. Kemudian dengan seijin yayasan yang bersangkutan, seluruh anak-anak sekolah minggu, tanpa kecuali, didaftarkan sebagai penerima bantuan yang tiap bulannya akan mereka terima. Kemudian atas kesepakatan bersama sejak awal [kesepakatan segi-tiga] antara Pdt. Samekto dengan pihak penerima bantuan, serta Yayasan Compasession Jakarta membuahkan hasil bahwa, sebagian uang bantuan [1/10] dari yang diterima anak-anak itu, nantinya akan dikumpulkan, dan diserahkan kembali kepada Tuhan untuk membantu meringankan beban Gembala sidang dalam menyelesaikan pembangunan gedung Gereja, atau tempat ibadah mereka.  Sampai disini godaan datang, justru dari pihak Compassion. Bapak Marjono bercerita bahwa “Pada tahun 1976-an, dengan alasan untuk menunjang kesibukan dan pelayanan beliau Bapak Pdt. Samekto sebagai hamba Tuhan, apa lagi pada waktu itu beliau juga menjabat sebagi wakil ketua Majelis Daerah VII Jawa Tengah GPdI, Pdt. RM, Samekto ini didorong dan dibujuk, pokoknya direstui oleh pengurus Yayasan Compassion, untuk membeli sebuah mobil. Tetapi beliau menolaknya, karena yang utama dan terutama di dalam hati dan pikiran Beliau disaat mengumpulkan uang itu adalah, gedung Gereja Pantekosta di Indonesia- Klaten ini harus selesai terlebih dahulu. Bahwa rumah Tuhan dulu yang harus dibangun!”. Dan Puji Tuhan!, dari Sepersepuluhan [1/10] uang yang anak-anak kumpulkan itu dapat menggerakkan terus roda pembangunan gedung Gereja. Sampai tahap finishingnya, Penggalangan dana tetap dilakukan sampai dirasa pembangunan gedung gereja Pantekosta di Indonesia Jl. Pulosari/ Jl. Menjangan/ jl. Teratai no. 6 Klaten, yang berukuran  12 x 26 m2 itu selesai.
Berkaitan dengan Compassion. secara berkala,  sponsor compassion dari Amerika, mengirim utusan untuk mengunjungi dan melihat keadaan anak-anak di Klaten. Sekali waktu mereka datang dengan rombongan besar, yang dipimpin oleh Pdt. AH. Mandey dari Jakarta. Dalam kesempatan itu, sekali lagi sendratari dengan cerita ‘Ramayana’ dari Gereja Pantekosta Klaten itu di tampilkan lagi. Dan acara itu di gelar di gedung RSPD Klaten.
Dan singkat cerita pembangunan gedung Gereja Pantekosta di Indonesia  Klaten itu selesai. Pada tanggal 28 Juni 1978 di resmikan oleh Bupati/Wakil Bupati Klaten dan di tahbiskan oleh Pdt. R. Gideon Sutrisno [Jogja], selaku utusan Majelis Pusat GPdI, serta dihadiri oleh hamba-hamba Tuhan Se Jawa- Tengah, juga para Pendeta se-Kota Klaten. Kemudian tiga hari berikutnya [ tanggal 29-31 Juni 1978], GPdI Klaten menjadi tuan rumah Musyawarah Daerah [MUSDA] GPdI Jawa Tengah. Dalam Musda ini, Bapak Marjono, Bapak Timotius Sudarman, Bapak Suparto dan beberapa saudara dari cabang Canan, dilantik menjadi Pendeta Pembantu.
Satu tahun setelah gedung Gereja di Tahbiskan, tepatnya pada tanggal 31 Maret  1978, Ibu Gembala “Sepuh”, Ibu Pramoni Sudiharjo, yang lahir di Malang, 12 Desember1903, dipanggil menghadap Tuhan, dan dimakamkan ditempat pemakaman Kristen Sungkur Klaten. Beliau yang telah mengorbankan segala sesuatunya, untuk mendampingi Suami menggenapi panggilan Tuhan untuk merintis dan membangun Gereja Pantekosta di Kota Klaten. Ia telah lakukan dengan setia.
      Diawal tahun 1980-an, pelayanan Pantekosta Klaten membuka POS PI di desa Gentan, Gemampir, Karangnongko, Klaten. Selanjutnya Pdt. Samekto mengutus Bp. Marjono, Sdr. F. Karyagung, Bp. Suparto dan Bp. Sudarman ke Gemampir untuk melayani mereka. Beberapa bulan kemudian, Pdt. Samekto menerima persembahan sebidang tanah untuk tempat ibadah dari Keluarga Bapak Sihono [kepala desa Gemampir saat itu] yang terletak di dukuh Ringinanom. Kemudian pada Tanggal 22 Mei 1984, Pdt. Samekto menerima surat pernyataan hibah atas tanah tersebut. Tidak lama kemudian mendapat berkat dana Rp. 4.000.000,- dari STII Jogja yang kemudian dipakai untuk modal awal pembangunan gedung gereja sehingga jemaat Pantekosta di Gemampir yang masih dalam perintisan itu, dapat memulai membangun gedung Gereja diatas tanah persembahan tersebut. Peletakan Batu Pertama oleh Bapak Pendeta ‘sepuh’ Sudiharjo, disaksikan oleh Muspika Kecamatan Karangnongko dan kepala Desa serta tokoh masyarakat setempat. Pada tanggal 20 Februari 1988, surat pernyataan hibah tanah itu diperbaharui dan ditandatangani oleh Ibu Suwarsi Warseno [pihak yang menyerahkan], Pdt. R.M. Samekto [pihak penerima], kemudian Bapak kepala desa Gemampir saat itu, Bapak Sihono [saksi], dan Sdr. Anang Sugeng Sulistyanto, Pimpinan sidang GPdI cabang Gemampir saat itu     Di era 80-an ini, Jemaat MUTERAN,Trucuk, Klaten, bergabung menjadi anggota keluarga besar GPdI Klaten.                                                                                                                                                                  Di tahun 80-an ini juga, pelayanan GPdI Klaten membuka POS PI di desa Kebon, Bayat, Klaten. Sdr.Fillemon Pramudito, Bapak Suhardi dan Sdri. Jamilah [mahasiswi STII Jogyakarta] terlibat langsung dalam perintisan ini. Perkembangan selanjutnya, pelayanan GPdI di desa Kebon, Bayat tersebut dilayani oleh Bapak Pdt. Roy Pelamonia sampai sekarang.
        Dengan bertambahnya Pos-pos pelayanan dan bilangan orang percaya beribadah di Gereja Pantekosta Klaten, menjadikan  ruang ibadah yang ada itu menjadi sempit. Hal itu membuat Bapak Samekto harus bergumul kembali untuk menyediakan tempat ibadah yang memadai..
 Memasuki  tahun 1986 , Dimulai dengan mengayunkan kembali  cangkul bertulisan “IMAN”  dalam suatu ibadah di halaman depan geraja, kerinduan Pdt. Samekto untuk  memperluas gedung Gereja bagian  belakang sepanjang 14 m itu terwujud, dengan konstruksi  Balkon.  dan selesai dikerjakan pada tahun 1988. Jadi, luas total gedung gereja GPdI Klaten sekarang adalah 12 x 40 m2.  
Pada tanggal  5 Agustus 1987, diulang tahunnya yang ke 82 , Bapak Gembala “sepuh” menerima Anugerah penghargaan  berupa piagam dan medali emas dari Majelis Daerah VII GPdI Jawa Tengah, atas kesetiaan beliau melayani Tuhan dan GerejaNya, sebagai hamba Tuhan Yang setiawan selama 50 tahun. 
Pada tahun 1988, Pdt. Samekto selaku Gembala sidang GPdI Klaten merestui  berdirinya sebuah sekolah lanjutan pertama  yang dipelopori  dan diperjuangkan oleh aktifis-aktifis muda Gereja Pantekosta Klaten  [antara Lain sdr. Fillemon Pramudito, Sdr. J. Herry Paryanto, Sdr. MIT. Dwikoryanto, Sdr. Nurdin, Sdri. Janti, dll.]  bekerjasama dengan Yayasan Imannuel  Jogjakarta. Adapun sekolah itu bernama SMP Kristen IMANNUEL-Klaten.  Karena menghadapi banyak kendala, akhirnya, seijin Tuhan  SMP IMANNUEL tidak dapat berlanjut dan hanya bertahan  beberapa tahun saja.
Pada tanggal  6  Maret 1989, Bapak gembala “sepuh”  surut, Beliau dipanggil menghadap ke pangkuan Bapa di Sorga. Dan di makamkan di makam Kristen Sungkur Klaten.
 Di tahun yang sama, terjadi peningkatan Status jemaat Ranting Pesu yang dilayani Pdm. David Sakiman [ ranting, dari  cabang GPdI Canan].   Dengan mengingat dan mempertimbangkan  kerendahan hati dan ketulusan, serta buah-buah pelayanan/kepemimpinan yang baik dari  Pdt. David Sakiman itu, pada tanggal  1 Agustus 1989, Pdt. RM. Samekto  mengangkat  status [mendewasakan] GPdI Ranting Pesu menjadi Gereja cabang  yang mandiri  SEJAJAR dengan GPdI canan. Dan Puji Tuhan!, tiba gilirannya, GPdI Pesu ini  berkembang dengan baik,   dan dipercaya Tuhan untuk  membuka  pos-pos Pelayanan baru [Pos PI], serta melahirkan banyak hamba Tuhan. Bahkan salah satu Pos pelayanannya itu kini berkembang dan menjadi  Gereja yang mandiri di Desa Delon, Pasung, Wedi, Klaten,  yang diasuh oleh  Pdt. Edi Suwito.
Kemudian pada tanggal  26 Agustus 1989, Pdt. RM. Samekto mengeluarkan mandat/kuasa kepada Ibu Pdm. Tentrem Sutopo, selaku pimpinan Gereja Pantekosta Canan Cabang Klaten [meneruskan kepemimpinan jemaat yang telah dipercayakan kepada Almarhum suaminya, Pdm. Sutopo]  untuk menerima, mengelola, dan bertanggung jawab secara mandiri,  menyelesaikan segala sesuatu, termasuk terhadap pemberlan tanah untuk Gereja Pantekosta di Indonesia Canan Cabang Klaten di Desa Margorejo, Canan, Wedi, Klaten.
Tahun 1990, Karena kesehatan Pdt. R.M. Samekto Brotokusumo terganggu, atas anjuran Bapak Marjono, Beliau memanggil  sdr. Pdm. Fanuel Karyagung untuk segera kembali pulang ke Klaten dari  tempat prakteknya sebagai pengerja Tuhan di GPdI Palembang {Pdt. Y.K. Siwi], untuk mendampingi pelayanan Beliau di Klaten.
 Pada tahun 1994, dalam ibadah perayaan Natal  Jemaat dan hamba-hamba Tuhan se wilayah VII GPdI, Pdt. RM. Samekto Brotokusumo melantik Pdm. Fanuel Karyagung sebagai Wakil Gembala GPdI Klaten. Pelantikan dilakukan oleh utusan Majelis Daerah VII GPdI Jateng, Pdt. Victor Malino [Magelang}. Setelah itu kesehatan Bapak Pdt. R.M. Samekto mulai mundur, akibat Parkingston yang dideritanya.  Namun beliau masih semangat melayani.
Tanggal  15 Nopember 1996, Pdt. Fanuel  Karyagung menikah dengan Florentina Hendiana Wulandari, dan pemberkatan nikah dilayani oleh Pdt. FZ. Assa [ Temanggung]
Satu tahun kemudian, tepatnya pada hari Senin, 22 Desember 1997, jam 01.00 dinihari, di Pastori  jl. Teratai 6 Klaten, Bapak gembala Pdt. RM. Samekto Brotokusumo, masuk dalam kemuliaanNya, dipanggil pulang  ke rumah Bapa di Surga.  Karena pada hari   itu adalah mendekati perayaan Natal 1997 dan juga sesuai dengan kerinduan beliau/Swargi untuk natalan bersama, maka Jenazah beliaupun disemayamkan di dalam gedung Gereja  sampai   tanggal  25 Desember 1997 saat dimana Ibadah Natal 1997 diselenggarakan. Baru keesokan harinya, tanggal  26  Desember 1997 ibadah pelepasan Jenazah dilangsungkan , dilayani oleh Bapak Pdt. F.Z. Assa, Ketua Majelis Daerah VII Jawa Tengah GPdI. Kemudian, beliau dimakamkan di Sasonoloyo, Kerjan Gayamprit, Klaten.
Dengan dipanggil pulangnya Bapak Pdt. R.M. Samekto Brotokusumo ke rumah Bapa di surga pada tanggal 22 Desember 1997, maka  penggembalaan GPdI Klaten mengalami kekosongan; sedangkan pekerjaan Tuhan harus tetap berjalan, sebab itu memerlukan gembala yang difinitif.   Kemudian,  seijin dari Tuhan, atas restu Ibu Gembala Ning Samekto, didukung oleh sesepuh dan segenap Jemaat,  pada tanggal 25 Desember 1997, Majelis Daerah VII  Jawa Tengah Gereja Pantekosta di Indonesia, memutuskan dan menetapkan Sdr Pdt. Fanuel Karyagung [Wakil gembala sidang GPdI Klaten], menjadi GEMBALA SIDANG Gereja Pantekosta di Indonesia-Klaten [ Jl. Teratai no.6] , meneruskan perjuangan  Ayahandanya Pdt. RM. Samekto Brotokusumo.  Dan Ibu Samekto Rah Prasetyaningsih selanjutnya ditetapkansebagai pendamping Gembala sidang Jemaat GPdI Klaten. Adapun pelantikanya dilakukan  pada saat ibadah pelepasan, pada tanggal  26 Desember 1997, di depan peti Jenazah Swargi Bapak Pdt. R.M. Samekto Brotokusumo
Di kemudian, gedung gereja Pantekosta di Indonesia-Klaten itu akan menjadi  “MONUMEN IMAN” bagi penerusnya. Karena akan selalu mengingatkan bagaimana perjuangan dan pengorbanan Pdt. Sudiharjo [1942-1987] dan Pdt. R.M. Samekto Brotokusumo [1956-1997] menjalani hidup dalam panggilanNya sebagai prajurit Kristus yang taat,  sebagai hamba Tuhan yang setiawan dalam membangun gerejaNya. Senantiasa dipenuhi rasa takut dan hormat kepada Tuhan, sehingga sikap tulus, jujur, rendah hati  dan tegas terhadap ketidak-adilan selalu nampak dalam sikap dan tutur katanya dalam ‘mengelola’ ladang Tuhan dan melayani jemaatNya.  HALELUYA...! , PUJI TUHAN!.


                                                                                                          Klaten, 11 Oktober 2011.
                                                                                                          Penulis,
    Mengetahui:



   
                                                                                                                                Pdt. Fanuel Karyagung
  Ibu Rah Prasetyaningsih Samekto.



  MENGETAHUI SAKSI SEJARAH:




1.      Bapak Marjono.                                                              4.   Bapak Hartono.               



2.       Ibu Kadiyem.                                                                   5.   Ibu Suliyem.



    3.  Ibu Hadiwiyono.                                                                      6.   Bapak Supono.











SUMBER INFORMASI:    Buku panduan pelepasan jenazah Pdt. R.M. Samekto Brotokusumo, 26/12/77;  Daftar riwayat hidup Pdt. Sudiharjo, 1972;  Daftar riwayat hidup Pdt. R.M. Samekto Brotokusumo;  Seputar GPdI, Danni Romokoij, 23/10/2003;  Wawancara atau kesaksian para saksi.

1 komentar:

  1. Blog anda kami masukkan ke link web resmi MP www.gpdi.or.id

    Regards
    Web team

    BalasHapus